Apa susahnya membeli
cinta? Asal punya uang, cinta pun bisa dibeli. Apa benar? Yup, cinta satu malam oh indahnya, begitu kata seorang penyanyi
muda yang pernah booming beberapa
waktu lalu. Seandainya semua semudah itu, ujar Randy dalam hati. Baru saja dia
dihubungi lagi oleh ibunya pagi tadi. Ibunya yang saat ini sudah sering
sakit-sakitan di Kupang itu rupanya rindu mendengar suara buah hatinya. Inti
percakapan mereka hanya satu, Randy harus secepatnya pulang ke Kupang. Ibunya
sudah rindu. Tapi Randy tahu apa maksud ibunya. Pulang ke Kupang berarti hanya
satu hal. Bertemu dengan seorang perempuan dan akhirnya … tunangan!
Ahh.. seandainya saat ini aku sudah
punya tambatan hati, pikir Randy dalam hati. Pasti lebih mudah menjawab
pertanyaan ibunya. Memang, tak pernah ibunya memaksa Randy untuk mengikuti
pilihannya. Kalau memang Randy punya pilihan sendiri, pasti ibunya setuju. Asal
menurut Randy perempuan itu baik, ibunya oke-oke saja. Toh, sudah lama Randy merantau meninggalkan Kupang dan keindahan
tanah Flobamora. Sudah lama, lama sekali menurut ibunya. Kalau menurut Randy
dia baru sebentar meninggalkan Kupang. Karena setiap akhir tahun dia pulang.
Bertemu ibunya. Bertemu sanak saudara sekampung halaman. Hanya, tahun lalu dia
tidak pulang. Ada pekerjaan besar yang memaksanya untuk tetap tinggal di
Surabaya hingga akhir tahun. Sayang kalau dilepaskan. Ini job kelas kakap, begitu kata atasannya waktu itu. Dan memang
atasannya benar. Sehabis melakukan pekerjaan itu karir Randy menanjak. Dia saat
ini menjadi salah satu orang berpengaruh di perusahaan tempatnya bekerja.
Cinta
satu malam oh indahnya…
Cinta
satu malam buatku melayang…
Walau
satu malam akan selalu ku kenang,
Dalam
hidupku…
Lirik lagu itu
kembali terdengar sayup-sayup dari sound system
mobil sedan biru keluaran terbaru yang dikemudikan Randy. Lagi-lagi Randy
termenung. Seandainya semua semudah syair lagu itu, pikirnya lagi sambil
geleng-geleng kepala. Ah sudahlah, masih banyak lagi yang harus dipikirkan.
Secepatnya ke kantor, secepatnya pula persoalan ini akan hilang dari pikiranku,
hanya itu yang ada di benak Randy saat itu. Mobil baru itupun melaju kencang
menyusuri perbatasan wilayah Sidoarjo dan Surabaya. Sedikit melambat ketika
menyusuri bundaran Waru untuk kemudian kembali melaju di Jalan Ahmad Yani.
“Ciiittttttttttt….” Suara ban berdecit karena direm mendadak
terdengar tiba-tiba. Suara decit ban itu disambut suara klakson keras bertubi-tubi
dari beberapa mobil di belakang.
“Mama yo…” teriak Randy sambil menyembulkan kepalanya dari jendela
mobil. Logat Kupangnya tiba-tiba keluar. Randy melihat seorang perempuan muda
terjatuh di depan mobilnya. Dengan sigap Randy turun. Beberapa pengendara motor
ada yang berhenti untuk sekedar memberi pertolongan. Ada juga yang sekedar
melambatkan jalan hanya untuk melihat ada apa gerangan.
“Mbak, ndak apa tha mbak?” tanya Randy. Perempuan itu memalingkan wajahnya ke arah
Randy. Randy sejenak terkesima. Cantik, pikirnya.
“Nggak apa mas, saya yang salah koq..”
perempuan muda itu sudah berdiri sambil mengibaskan debu yang menempel di
celana jeansnya. Tak ada luka sepertinya. Secara keseluruhan tampilannya cukup
modis. Orang-orang yang tadinya turun dari motor kembali bergegas kembali ke
motornya masing-masing. Mungkin mereka sedikit kecewa. Kesempatan melepaskan
amarah ternyata sirna melihat korban ternyata tidak apa-apa.
“Maaf ya mbak..”
Randy tetap menatap wajah perempuan muda itu. Tatapannya lurus dengan mata tak
berkedip. Perempuan itu hanya tersenyum. Tiba-tiba terbersit satu pikiran di
benak Randy.
“Mbak e memangnya mau kemana? Siapa tahu satu
arah?” Perempuan itu seperti terlihat berpikir sejenak. Kemudian dia
menyebutkan nama satu wilayah. Randy tampak manggut-manggut mengerti. Kemudian
Randy membuka pintu mobil di sebelah kiri tepat di sebelah tempat duduk
pengemudi. Perempuan itu masuk. Randy pun menyusul. Mobil biru itu kembali
melaju lagi. Jalanan yang tadi sempat macet mulai terurai lagi.
Kali ini perjalanan
terasa lebih menyenangkan. Bukan hanya untuk Randy tapi untuk si mbak juga.
Mereka tak hentinya bercakap dan berbicara satu dengan lainnya. Dari
pembicaraan mengenai si mbak yang nyaris tertabrak hingga soal tujuan yang
ingin mereka tempuh. Kantor si mbak yang akhirnya diketahui bernama Christal
itu terletak di jalan raya Diponegoro sementara kantor Randy ada di jalan raya
Darmo. Beda jalan memang, namun dengan sekali putaran Randy bisa langsung
menuju kantornya selepas menurunkan Christal. Jalan raya Darmo dan Diponegoro
itu letaknya hampir sejajar. Di antara kedua jalan itu ada banyak jalan
penghubung dan putaran.
Selepas pertemuan itu
Randy mulai sering berkomunikasi dengan Christal. Mulai menanyakan apakah sudah
makan hingga akhirnya pulang bersama sekali dua mulai menjadi kegiatan rutin.
Lama kelamaan benih cinta mulai tumbuh di hati Randy. Buat Randy bertemu dengan
Christal seperti sebuah anugerah. Bertemu tak sengaja. Berbicara nyambung pula. Belum lagi asal mereka
sama-sama dari bumi Flobamora. Randy dari Soe dan Christal dari Rote. Tapi
apakah Christal juga mencintainya? Itu yang harus segera kutanyakan, pikir
Randy ketika berada di mobil hendak menjemput Christal. Waktu menunjukkan pukul
5 sore. Jalan sedang macet-macetnya. Ini jam orang pulang kantor.
Hari itu mereka makan
malam bersama. Randy senang. Mungkin ini saatnya menanyakan perasaan Christal
padanya. Tapi untuk memulai bertanya sepertinya sulit sekali. Maka topik
pembicaraan lain pun dicari. Mereka berdua mulai saling berbagi impian dan
cita-cita. Randy menyampaikan cita-citanya sejak dulu. Sebenarnya Randy ingin sekali
menjadi barista. Seorang peracik
kopi. Punya warung kopi sendiri yang menjadi satu dengan rumah tinggal. Sebuah
warung kopi yang menjadi tempat orang-orang berbagi cerita, canda, dan tawa. Christal
hanya tersenyum mendengar impian Randy. Christal juga berbagi mimpinya. Dia
ingin sekali lekas berhenti bekerja, mengelola usaha sendiri dan tinggal di
kompleks perumahan yang tidak terlalu ramai. Selepas bicara soal impian, Randy
mulai melihat pintu masuk untuk menanyakan perasaan Christal padanya.
“Tapi kira-kira
dengan siapa ya aku saat impian itu terwujud?” Randy bertanya sambil melihat ke
arah wajah Christal, berharap mendapatkan jawaban yang tepat. Christal hanya
tersenyum. Tidak menjawab.
“Pulang yuks, sudah hampir jam sembilan. Besok
harus ngantor lagi…” ajak Christal.
“Tapi…” Randy
tampaknya belum puas.
“Sudahlah.. kamu
tahulah jawabannya…” jawab Christal beranjak dari kursi lalu menggandeng lengan
Randy mesra. Randy merasa tak perlu bertanya lagi. Sepertinya Christal sudah
menjawab pertanyaannya dengan cara yang lain.
Hampir satu bulan
mereka berpacaran. Di bulan berikutnya Christal mulai mengajukan permintaan.
Permintaan yang aneh menurut Randy. Ada bisnis yang harus dijalankannya
katanya. Maka Christal pun mengajukan permintaan sejumlah uang yang harus
dipenuhi Randy setiap bulannya. Ketika Randy ingin bertanya lebih jauh untuk
apa uang itu digunakan, Christal tampak tak senang. Randy pun mengalah. Hampir
sebulan sekali jumlah uang yang sama diberikan ke Christal. Pokok pembicaraan
merekapun sehari-hari tak boleh menyinggung soal uang itu. Kalau Randy sudah
mengarah ke pembicaraan tentang uang bulanan itu, maka Christal mulai
menunjukkan ekspresi tidak suka. Dan kalau sudah begitu, Randy lebih memilih
mengalah.
Hingga tiga tahun sudah
hubungan Randy dan Christal berjalan cukup mulus. Kalaupun bertengkar tentang
satu dan lain hal bisa diselesaikan dengan baik. Hal itu membuat Randy mulai
berpikir lebih jauh. Sudah saatnya kah melangkah ke jenjang pelaminan?
Tampaknya aku harus menanyakannya ke Christal, pikir Randy. Kebetulan nanti
malam adalah malam Minggu. Malamnya anak muda bertemu dan bersua.
“Chris..” suara Randy terdengar di ujung
telepon. Ajakan makan malam diutarakan. Christal pun mengiyakan. Randy senang.
Tiba-tiba telepon Randy berbunyi. Dari Christal. Ada apa lagi? Pikir Randy.
Bukankah tadi sudah janjian makan malam?
“Ran… sorry aku butuh bantuan lagi nih…” suara Christal terdengar sedikit
memelas. Randy mendengarkan dengan mimik muka serius. Mimik muka itu kemudian
tiba-tiba berubah menjadi mimik kaget.
“Apa? Dua ratus juta
Chris? Banyaknya… buat apa?” Randy berusaha mencari informasi lebih jauh.
“Pokoknya pentinglah
Ran, kirim segera ya… nanti malam kita jadi ketemuan kan? Nggak usah dijemput nanti aku langsung aja ke tempat biasa..” suara
Christal terdengar buru-buru.
Masih bingung Randy
memegang telepon genggamnya. Tapi apa daya? Masa karena hal ini rencana awal
untuk mengutarakan keinginannya melangkah ke jenjang lebih jauh bersama
Christal jadi gagal? Kalau gagal, sia-sia dong
hubungan mereka selama tiga tahun ini. Berbagai pikiran berkecamuk di benak
Randy sebelum akhirnya dia memutuskan untuk turun dari ruangannya menuju ke
arah lobby. Di situ ada cabang sebuah
bank pemerintah dimana Randy menjadi nasabahnya. Urusan transfer uang dua ratus juta itupun berjalan cepat dan mudah. Uang
mudah dicari, tapi calon teman hidup? Randy tersenyum membayangkan masa
depannya bersama Christal. Mungkin saja mereka nanti akan dikaruniai banyak
anak. Atau “dua anak saja cukup” seperti program pemerintah? Randy lekas-lekas
menyudahi angan-angannya dan kembali ke kantor.
Pukul setengah
delapan malam Randy sudah duduk manis di depan sebuah meja resto di salah satu plasa
yang menyuguhkan live music setiap
malam minggu itu. Lagu-lagu romantis yang dilantunkan seakan membawa suasana
hati Randy semakin berdebar. Kira-kira apakah jawaban Christal. Apakah Christal
sudah siap berumah tangga?
Jam delapan malam
Christal belum juga muncul. Randy ragu-ragu ingin menekan tombol di telepon
genggamnya. Sepuluh menit kemudian keraguan itu dihilangkannya. Nomor Christal
ditekan. Tak ada jawaban. Hanya pesan dari operator yang menyatakan bahwa nomor
sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Biarlah kutunggu sebentar,
pikir Randy, barangkali hape-nya low batt atau ada sebab lain.
Pukul setengah
sembilan malam Randy mulai bingung. Pelayan resto mulai menanyakan apakah Randy
ingin memesan sekarang namun masih dijawab oleh Randy kalau dia masih menunggu
seorang teman. Randy kemudian menekan nomor kantor Christal. Hanya suara mesin
penjawab telepon yang terdengar. Rupanya semua orang sudah pulang. Nomor siapa
lagi ya? Randy mulai menyesal kenapa dia tidak menyimpan nomor telepon
teman-teman Christal.
Hingga pukul sepuluh
malam Christal tak juga muncul. Pikiran Randy mulai mengarah ke hal-hal aneh. Apa
yang terjadi dengan Christal? Diculik? Kecelakaan? Ahh tak mungkin. Dibuang Randy jauh-jauh pikiran buruk itu. Lalu, apa
mungkin Christal membohonginya? Semua hubungan yang mereka bangun hanya karena
uang? Tapi, masa harus menunggu tiga tahun dulu? Telaten sekali dia kalau harus
menunggu tiga tahun untuk sekedar berbohong. Sudahlah, besok saja aku ke
kantornya, pikir Randy. Dihabiskannya lemon
tea yang tadi sempat dipesannya karena ditanya terus oleh pelayan resto.
Randy pun pulang.
Di kantor Christal
ternyata Randy menemukan fakta yang mengejutkan. Christal tak lagi bekerja
disitu. Christal rupanya hanya pegawai kontrak. Kontraknya berakhir persis saat
dia meminjam uang dua ratus juta itu. Tak ada yang tahu Christal dimana sekarang.
Atau mungkin mereka tak mau memberitahu. Randy melihat gelagat-gelagat yang
aneh dari reaksi mantan rekan sekerja Christal di kantor itu. Randy berusaha
menghubungi bagian personalia. Betul. Datanya memang ada. Tapi hanya alamat
tempat kos Christal yang ada. Randy bergegas menuju alamat itu. Hasilnya sama.
Nihil.
Randy mulai putus
asa. Christal hilang bak lenyap ditelan bumi.
Keesokan harinya
Randy kembali dihubungi ibunya. Pulanglah, kata ibunya. Tak diceritakan Randy
peristiwa yang dialaminya. Mungkin ini pelajaran buatku, pikir Randy.
Seharusnya sedari dulu aku pulang menemui ibu, pikir Randy lagi. Randy pun
mengambil cuti selama satu minggu. Randy pulang ke Kupang.
Suasana kota Kupang
masih seperti dua tahun lalu. Bandara El Tari masih sama seperti dulu, hanya
kini lebih banyak pesawat yang masuk. Di luar ruang kedatangan Paman Rey sudah
menunggu. Paman Rey adalah adik ibunya. Karena mereka bersaudara dengan jumlah
lumayan, maka umur paman Rey seolah tak beda jauh dengan Randy.
“Ho… paman” Randy menyapa paman Rey. Paman Rey tersenyum. Mereka
masuk ke mobil minibus hitam itu.
“Kita koq ke arah sini paman?” tanya Randy
melihat jalan yang ditempuh paman Rey sedikit berbeda dari yang dia ingat.
“Kata ko pu mama[1]
kita ke sini dulu, ada yang mau diperlihatkannya ke ko...” hanya itu yang disampaikan paman Rey.
Mobil minibus hitam
itu masuk ke sebuah kompleks perumahan. Bukan perumahan mewah yang seperti di
iklan televisi. Hanya perumahan biasa yang tertata dengan rapi. Mobil pun
berhenti di sebuah rumah dengan paviliun depan berfungsi seperti semacam café.
Semacam warung kopi namun dengan cita rasa yang lebih berkelas. Mereka turun
dari mobil. Randy terkesima. Tak sadar mulutnya ternganga sesaat. Ini persis
dengan rumah impiannya.
“Hei… jangan bengong.
Ayo masuk!” ajak paman Rey. Merekapun melangkah ke dalam. Ternyata ibunya sudah
menunggu.
“Mama!” Randy
menghambur ke ibunya. Memeluk ibunya erat. Sesaat mereka berpelukan melepas
kerinduan.
Setelah beberapa saat
Randy pun tak sabar ingin menanyakan perihal rumah itu. Rumah siapa itu?
Mengapa ibunya ada di situ? Apakah ini rumah paman Rey? Ahh tak mungkin, rumah paman Rey setahu Randy masih jauh dari sini.
Akhirnya Randy pun bertanya.
“Ma, ini rumah siapa ko mama ada di sini?” tanya Randy dengan
logat Kupang yang khas. Ibunya hanya tersenyum.
“Rumahmu toh…” jawab ibunya.
“Maksud mama?” tanya
Randy tak sabar.
“Sebenarnya sudah
lama mama ingin kamu tinggal di sini. Di Kupang bersama mama. Mama sudah tua,
papamu sudah tidak ada, hampir semua saudara kita tinggal jauh merantau. Hanya
kamu lah yang mama harapkan bisa menemani mama…” ibunya mulai menjelaskan.
Ternyata selama ini ibunya telah menyiapkan rumah untuk ditempati Randy. Tapi
dari mana uang ibunya untuk membeli semua ini? Pikir Randy. Ibunya sepertinya
tahu apa yang dipikirkan Randy. Ibunya lalu memanggil sebuah nama yang sudah
Randy kenal.
“Christal…” panggil
ibu Randy. Dari ruang belakang Christal muncul. Tetap cantik seperti waktu
mereka pertama bertemu dulu. Waktu Christal nyaris tertabrak saat itu. Ternyata
Christal adalah perempuan pilihan ibunya. Ternyata uang itu… tak sanggup Randy
mengira-ngira kelanjutan asumsinya.
Randy bergegas
memeluk ibunya dan kemudian memeluk Christal erat-erat. Derai air mata kembali
mengalir. Kali ini seluruhnya adalah air mata bahagia. Impian Randy selama ini
akan terwujud. Semua berkat ibunya dan berkat Christal calon istrinya. Mereka
bertiga pun tersenyum bahagia.
[1]
ibumu
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis
Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang
diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar