Jumat, 20 November 2015

Uangku Cintamu?



Apa susahnya membeli cinta? Asal punya uang, cinta pun bisa dibeli. Apa benar? Yup, cinta satu malam oh indahnya, begitu kata seorang penyanyi muda yang pernah booming beberapa waktu lalu. Seandainya semua semudah itu, ujar Randy dalam hati. Baru saja dia dihubungi lagi oleh ibunya pagi tadi. Ibunya yang saat ini sudah sering sakit-sakitan di Kupang itu rupanya rindu mendengar suara buah hatinya. Inti percakapan mereka hanya satu, Randy harus secepatnya pulang ke Kupang. Ibunya sudah rindu. Tapi Randy tahu apa maksud ibunya. Pulang ke Kupang berarti hanya satu hal. Bertemu dengan seorang perempuan dan akhirnya … tunangan!
Ahh.. seandainya saat ini aku sudah punya tambatan hati, pikir Randy dalam hati. Pasti lebih mudah menjawab pertanyaan ibunya. Memang, tak pernah ibunya memaksa Randy untuk mengikuti pilihannya. Kalau memang Randy punya pilihan sendiri, pasti ibunya setuju. Asal menurut Randy perempuan itu baik, ibunya oke-oke saja. Toh, sudah lama Randy merantau meninggalkan Kupang dan keindahan tanah Flobamora. Sudah lama, lama sekali menurut ibunya. Kalau menurut Randy dia baru sebentar meninggalkan Kupang. Karena setiap akhir tahun dia pulang. Bertemu ibunya. Bertemu sanak saudara sekampung halaman. Hanya, tahun lalu dia tidak pulang. Ada pekerjaan besar yang memaksanya untuk tetap tinggal di Surabaya hingga akhir tahun. Sayang kalau dilepaskan. Ini job kelas kakap, begitu kata atasannya waktu itu. Dan memang atasannya benar. Sehabis melakukan pekerjaan itu karir Randy menanjak. Dia saat ini menjadi salah satu orang berpengaruh di perusahaan tempatnya bekerja.
Cinta satu malam oh indahnya…
Cinta satu malam buatku melayang…
Walau satu malam akan selalu ku kenang,
Dalam hidupku…
Lirik lagu itu kembali terdengar sayup-sayup dari sound system mobil sedan biru keluaran terbaru yang dikemudikan Randy. Lagi-lagi Randy termenung. Seandainya semua semudah syair lagu itu, pikirnya lagi sambil geleng-geleng kepala. Ah sudahlah, masih banyak lagi yang harus dipikirkan. Secepatnya ke kantor, secepatnya pula persoalan ini akan hilang dari pikiranku, hanya itu yang ada di benak Randy saat itu. Mobil baru itupun melaju kencang menyusuri perbatasan wilayah Sidoarjo dan Surabaya. Sedikit melambat ketika menyusuri bundaran Waru untuk kemudian kembali melaju di Jalan Ahmad Yani.
Ciiittttttttttt….” Suara ban berdecit karena direm mendadak terdengar tiba-tiba. Suara decit ban itu disambut suara klakson keras bertubi-tubi dari beberapa mobil di belakang.
Mama yo…” teriak Randy sambil menyembulkan kepalanya dari jendela mobil. Logat Kupangnya tiba-tiba keluar. Randy melihat seorang perempuan muda terjatuh di depan mobilnya. Dengan sigap Randy turun. Beberapa pengendara motor ada yang berhenti untuk sekedar memberi pertolongan. Ada juga yang sekedar melambatkan jalan hanya untuk melihat ada apa gerangan.
“Mbak, ndak apa tha mbak?” tanya Randy. Perempuan itu memalingkan wajahnya ke arah Randy. Randy sejenak terkesima. Cantik, pikirnya.
Nggak apa mas, saya yang salah koq..” perempuan muda itu sudah berdiri sambil mengibaskan debu yang menempel di celana jeansnya. Tak ada luka sepertinya. Secara keseluruhan tampilannya cukup modis. Orang-orang yang tadinya turun dari motor kembali bergegas kembali ke motornya masing-masing. Mungkin mereka sedikit kecewa. Kesempatan melepaskan amarah ternyata sirna melihat korban ternyata tidak apa-apa.
“Maaf ya mbak..” Randy tetap menatap wajah perempuan muda itu. Tatapannya lurus dengan mata tak berkedip. Perempuan itu hanya tersenyum. Tiba-tiba terbersit satu pikiran di benak Randy.
“Mbak e memangnya mau kemana? Siapa tahu satu arah?” Perempuan itu seperti terlihat berpikir sejenak. Kemudian dia menyebutkan nama satu wilayah. Randy tampak manggut-manggut mengerti. Kemudian Randy membuka pintu mobil di sebelah kiri tepat di sebelah tempat duduk pengemudi. Perempuan itu masuk. Randy pun menyusul. Mobil biru itu kembali melaju lagi. Jalanan yang tadi sempat macet mulai terurai lagi.
Kali ini perjalanan terasa lebih menyenangkan. Bukan hanya untuk Randy tapi untuk si mbak juga. Mereka tak hentinya bercakap dan berbicara satu dengan lainnya. Dari pembicaraan mengenai si mbak yang nyaris tertabrak hingga soal tujuan yang ingin mereka tempuh. Kantor si mbak yang akhirnya diketahui bernama Christal itu terletak di jalan raya Diponegoro sementara kantor Randy ada di jalan raya Darmo. Beda jalan memang, namun dengan sekali putaran Randy bisa langsung menuju kantornya selepas menurunkan Christal. Jalan raya Darmo dan Diponegoro itu letaknya hampir sejajar. Di antara kedua jalan itu ada banyak jalan penghubung dan putaran.
Selepas pertemuan itu Randy mulai sering berkomunikasi dengan Christal. Mulai menanyakan apakah sudah makan hingga akhirnya pulang bersama sekali dua mulai menjadi kegiatan rutin. Lama kelamaan benih cinta mulai tumbuh di hati Randy. Buat Randy bertemu dengan Christal seperti sebuah anugerah. Bertemu tak sengaja. Berbicara nyambung pula. Belum lagi asal mereka sama-sama dari bumi Flobamora. Randy dari Soe dan Christal dari Rote. Tapi apakah Christal juga mencintainya? Itu yang harus segera kutanyakan, pikir Randy ketika berada di mobil hendak menjemput Christal. Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Jalan sedang macet-macetnya. Ini jam orang pulang kantor.
Hari itu mereka makan malam bersama. Randy senang. Mungkin ini saatnya menanyakan perasaan Christal padanya. Tapi untuk memulai bertanya sepertinya sulit sekali. Maka topik pembicaraan lain pun dicari. Mereka berdua mulai saling berbagi impian dan cita-cita. Randy menyampaikan cita-citanya sejak dulu. Sebenarnya Randy ingin sekali menjadi barista. Seorang peracik kopi. Punya warung kopi sendiri yang menjadi satu dengan rumah tinggal. Sebuah warung kopi yang menjadi tempat orang-orang berbagi cerita, canda, dan tawa. Christal hanya tersenyum mendengar impian Randy. Christal juga berbagi mimpinya. Dia ingin sekali lekas berhenti bekerja, mengelola usaha sendiri dan tinggal di kompleks perumahan yang tidak terlalu ramai. Selepas bicara soal impian, Randy mulai melihat pintu masuk untuk menanyakan perasaan Christal padanya.
“Tapi kira-kira dengan siapa ya aku saat impian itu terwujud?” Randy bertanya sambil melihat ke arah wajah Christal, berharap mendapatkan jawaban yang tepat. Christal hanya tersenyum. Tidak menjawab.
“Pulang yuks, sudah hampir jam sembilan. Besok harus ngantor lagi…” ajak Christal.
“Tapi…” Randy tampaknya belum puas.
“Sudahlah.. kamu tahulah jawabannya…” jawab Christal beranjak dari kursi lalu menggandeng lengan Randy mesra. Randy merasa tak perlu bertanya lagi. Sepertinya Christal sudah menjawab pertanyaannya dengan cara yang lain.
Hampir satu bulan mereka berpacaran. Di bulan berikutnya Christal mulai mengajukan permintaan. Permintaan yang aneh menurut Randy. Ada bisnis yang harus dijalankannya katanya. Maka Christal pun mengajukan permintaan sejumlah uang yang harus dipenuhi Randy setiap bulannya. Ketika Randy ingin bertanya lebih jauh untuk apa uang itu digunakan, Christal tampak tak senang. Randy pun mengalah. Hampir sebulan sekali jumlah uang yang sama diberikan ke Christal. Pokok pembicaraan merekapun sehari-hari tak boleh menyinggung soal uang itu. Kalau Randy sudah mengarah ke pembicaraan tentang uang bulanan itu, maka Christal mulai menunjukkan ekspresi tidak suka. Dan kalau sudah begitu, Randy lebih memilih mengalah.
Hingga tiga tahun sudah hubungan Randy dan Christal berjalan cukup mulus. Kalaupun bertengkar tentang satu dan lain hal bisa diselesaikan dengan baik. Hal itu membuat Randy mulai berpikir lebih jauh. Sudah saatnya kah melangkah ke jenjang pelaminan? Tampaknya aku harus menanyakannya ke Christal, pikir Randy. Kebetulan nanti malam adalah malam Minggu. Malamnya anak muda bertemu dan bersua.
 “Chris..” suara Randy terdengar di ujung telepon. Ajakan makan malam diutarakan. Christal pun mengiyakan. Randy senang. Tiba-tiba telepon Randy berbunyi. Dari Christal. Ada apa lagi? Pikir Randy. Bukankah tadi sudah janjian makan malam?
“Ran… sorry aku butuh bantuan lagi nih…” suara Christal terdengar sedikit memelas. Randy mendengarkan dengan mimik muka serius. Mimik muka itu kemudian tiba-tiba berubah menjadi mimik kaget.
“Apa? Dua ratus juta Chris? Banyaknya… buat apa?” Randy berusaha mencari informasi lebih jauh.
“Pokoknya pentinglah Ran, kirim segera ya… nanti malam kita jadi ketemuan kan? Nggak usah dijemput nanti aku langsung aja ke tempat biasa..” suara Christal terdengar buru-buru.
Masih bingung Randy memegang telepon genggamnya. Tapi apa daya? Masa karena hal ini rencana awal untuk mengutarakan keinginannya melangkah ke jenjang lebih jauh bersama Christal jadi gagal? Kalau gagal, sia-sia dong hubungan mereka selama tiga tahun ini. Berbagai pikiran berkecamuk di benak Randy sebelum akhirnya dia memutuskan untuk turun dari ruangannya menuju ke arah lobby. Di situ ada cabang sebuah bank pemerintah dimana Randy menjadi nasabahnya. Urusan transfer uang dua ratus juta itupun berjalan cepat dan mudah. Uang mudah dicari, tapi calon teman hidup? Randy tersenyum membayangkan masa depannya bersama Christal. Mungkin saja mereka nanti akan dikaruniai banyak anak. Atau “dua anak saja cukup” seperti program pemerintah? Randy lekas-lekas menyudahi angan-angannya dan kembali ke kantor.
Pukul setengah delapan malam Randy sudah duduk manis di depan sebuah meja resto di salah satu plasa yang menyuguhkan live music setiap malam minggu itu. Lagu-lagu romantis yang dilantunkan seakan membawa suasana hati Randy semakin berdebar. Kira-kira apakah jawaban Christal. Apakah Christal sudah siap berumah tangga?
Jam delapan malam Christal belum juga muncul. Randy ragu-ragu ingin menekan tombol di telepon genggamnya. Sepuluh menit kemudian keraguan itu dihilangkannya. Nomor Christal ditekan. Tak ada jawaban. Hanya pesan dari operator yang menyatakan bahwa nomor sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Biarlah kutunggu sebentar, pikir Randy, barangkali hape-nya low batt atau ada sebab lain.
Pukul setengah sembilan malam Randy mulai bingung. Pelayan resto mulai menanyakan apakah Randy ingin memesan sekarang namun masih dijawab oleh Randy kalau dia masih menunggu seorang teman. Randy kemudian menekan nomor kantor Christal. Hanya suara mesin penjawab telepon yang terdengar. Rupanya semua orang sudah pulang. Nomor siapa lagi ya? Randy mulai menyesal kenapa dia tidak menyimpan nomor telepon teman-teman Christal.
Hingga pukul sepuluh malam Christal tak juga muncul. Pikiran Randy mulai mengarah ke hal-hal aneh. Apa yang terjadi dengan Christal? Diculik? Kecelakaan? Ahh tak mungkin. Dibuang Randy jauh-jauh pikiran buruk itu. Lalu, apa mungkin Christal membohonginya? Semua hubungan yang mereka bangun hanya karena uang? Tapi, masa harus menunggu tiga tahun dulu? Telaten sekali dia kalau harus menunggu tiga tahun untuk sekedar berbohong. Sudahlah, besok saja aku ke kantornya, pikir Randy. Dihabiskannya lemon tea yang tadi sempat dipesannya karena ditanya terus oleh pelayan resto. Randy pun pulang.
Di kantor Christal ternyata Randy menemukan fakta yang mengejutkan. Christal tak lagi bekerja disitu. Christal rupanya hanya pegawai kontrak. Kontraknya berakhir persis saat dia meminjam uang dua ratus juta itu. Tak ada yang tahu Christal dimana sekarang. Atau mungkin mereka tak mau memberitahu. Randy melihat gelagat-gelagat yang aneh dari reaksi mantan rekan sekerja Christal di kantor itu. Randy berusaha menghubungi bagian personalia. Betul. Datanya memang ada. Tapi hanya alamat tempat kos Christal yang ada. Randy bergegas menuju alamat itu. Hasilnya sama. Nihil.
Randy mulai putus asa. Christal hilang bak lenyap ditelan bumi.
Keesokan harinya Randy kembali dihubungi ibunya. Pulanglah, kata ibunya. Tak diceritakan Randy peristiwa yang dialaminya. Mungkin ini pelajaran buatku, pikir Randy. Seharusnya sedari dulu aku pulang menemui ibu, pikir Randy lagi. Randy pun mengambil cuti selama satu minggu. Randy pulang ke Kupang.
Suasana kota Kupang masih seperti dua tahun lalu. Bandara El Tari masih sama seperti dulu, hanya kini lebih banyak pesawat yang masuk. Di luar ruang kedatangan Paman Rey sudah menunggu. Paman Rey adalah adik ibunya. Karena mereka bersaudara dengan jumlah lumayan, maka umur paman Rey seolah tak beda jauh dengan Randy.
Ho… paman” Randy menyapa paman Rey. Paman Rey tersenyum. Mereka masuk ke mobil minibus hitam itu.
“Kita koq ke arah sini paman?” tanya Randy melihat jalan yang ditempuh paman Rey sedikit berbeda dari yang dia ingat.
“Kata ko pu mama[1] kita ke sini dulu, ada yang mau diperlihatkannya ke ko...” hanya itu yang disampaikan paman Rey.
Mobil minibus hitam itu masuk ke sebuah kompleks perumahan. Bukan perumahan mewah yang seperti di iklan televisi. Hanya perumahan biasa yang tertata dengan rapi. Mobil pun berhenti di sebuah rumah dengan paviliun depan berfungsi seperti semacam café. Semacam warung kopi namun dengan cita rasa yang lebih berkelas. Mereka turun dari mobil. Randy terkesima. Tak sadar mulutnya ternganga sesaat. Ini persis dengan rumah impiannya.
“Hei… jangan bengong. Ayo masuk!” ajak paman Rey. Merekapun melangkah ke dalam. Ternyata ibunya sudah menunggu.
“Mama!” Randy menghambur ke ibunya. Memeluk ibunya erat. Sesaat mereka berpelukan melepas kerinduan.
Setelah beberapa saat Randy pun tak sabar ingin menanyakan perihal rumah itu. Rumah siapa itu? Mengapa ibunya ada di situ? Apakah ini rumah paman Rey? Ahh tak mungkin, rumah paman Rey setahu Randy masih jauh dari sini. Akhirnya Randy pun bertanya.
“Ma, ini rumah siapa ko mama ada di sini?” tanya Randy dengan logat Kupang yang khas. Ibunya hanya tersenyum.
“Rumahmu toh…” jawab ibunya.
“Maksud mama?” tanya Randy tak sabar.
“Sebenarnya sudah lama mama ingin kamu tinggal di sini. Di Kupang bersama mama. Mama sudah tua, papamu sudah tidak ada, hampir semua saudara kita tinggal jauh merantau. Hanya kamu lah yang mama harapkan bisa menemani mama…” ibunya mulai menjelaskan. Ternyata selama ini ibunya telah menyiapkan rumah untuk ditempati Randy. Tapi dari mana uang ibunya untuk membeli semua ini? Pikir Randy. Ibunya sepertinya tahu apa yang dipikirkan Randy. Ibunya lalu memanggil sebuah nama yang sudah Randy kenal.
“Christal…” panggil ibu Randy. Dari ruang belakang Christal muncul. Tetap cantik seperti waktu mereka pertama bertemu dulu. Waktu Christal nyaris tertabrak saat itu. Ternyata Christal adalah perempuan pilihan ibunya. Ternyata uang itu… tak sanggup Randy mengira-ngira kelanjutan asumsinya.
Randy bergegas memeluk ibunya dan kemudian memeluk Christal erat-erat. Derai air mata kembali mengalir. Kali ini seluruhnya adalah air mata bahagia. Impian Randy selama ini akan terwujud. Semua berkat ibunya dan berkat Christal calon istrinya. Mereka bertiga pun tersenyum bahagia.


[1] ibumu


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com