Air terjun di kampung Soba itu sangat indah sekali. Airnya
dingin dan terasa menyegarkan ketika kita mandi di situ atau sekedar berendam
saja. Menuju ke Soba lumayan sulit. Harus berjalan kaki selama kurang lebih 3
(tiga) hari dari Wamena (Papua) atau jika ingin cepat bisa mencarter pesawat
AMA atau MAF dengan harga yang cukup mahal (sekitar 7 – 9 juta). Soba sendiri
dengan adanya pemekaran wilayah telah tumbuh menjadi sebuah distrik (kecamatan)
walau sebenarnya infrastrukturnya masih belum siap.
Menuju ke puncak air terjun jalannya agak sulit dan licin.
Di sepanjang jalan kita bisa menemukan beberapa mata air. Salah satu mata air
yang cukup besar adalah mata air Soba. Mata air ini bersama mata air-mata air
lainnya membentuk aliran sungai yang akhirnya menjadi air terjun Soba.
Yang menarik adalah mengenai upaya masyarakat di wilayah
itu untuk melestarikan mata air tersebut. Dahulu kala menurut masyarakat
setempat, adalah seorang kepala desa bernama Pahabol yang gigih dan tak mau kompromi
untuk melestarikan mata air tersebut. Tidak ada satu pohonpun di sekitar mata
air yang boleh ditebang. Selain itu ada beberapa orang yang ditunjuk untuk
merawat mata air tersebut terutama untuk membersihkan daun-daun yang jatuh ke
dalam aliran mata air.
Ini ilustrasi saja. Sumber: www.protectyouthsports.com |
Nah, ketika kepala desa tersebut meninggal, katanya di
sempat bersumpah untuk tetap menjaga mata air tersebut. Kalau perlu katanya,
dengan menjadi Swanggi untuk menunggui mata air dan membuat celaka orang-orang
yang merusak mata air. Swanggi adalah kata lain dari hantu yang digunakan dalam
bahasa setempat. Konon katanya, jika ada orang yang menebang pohon di pinggiran mata
air, maka pasti akan ada salah satu anggota keluarganya yang celaka atau
tiba-tiba mendadak sakit.
Sayangnya semakin ke hilir, aliran mata air ini mulai
tercemari dengan berbagai bahan kontaminan seiring dengan berubahnya budaya
masyarakat. Mulai busa sabun di pinggir
aliran mata air hingga limbah kotoran manusia dan hewan mulai tampak
bermunculan. Ini yang menjadi masalah baru untuk kesehatan masyarakat setempat
yang mungkin belum muncul di masa lalu. Ternyata air yang berlimpah tidak
dibarengi dengan fasilitas sanitasi yang baik.
Dalam pidato pembukaannya pada Third East Asia Ministerial Conference on Sanitation and Hygiene di
bulan September lalu (The Jakarta Globe, 11 September 2012), Menkes Nafsiah
Mboi menyatakan bahwa sekitar 55 persen
penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi, sementara 43 persen
tidak memiliki akses ke air bersih. Dan dia juga menambahkan bahwa ada sekitar
109 juta jiwa yang hidup tanpa keduanya (air bersih dan sanitasi). Wah..wah..!
Dalam pertemuan yang sama, Athula Kahandaliyanage,
direktur pembangunan berkelanjutan di kantor regional Organisasi Kesehatan
Dunia untuk Asia Tenggara, menunjukkan bahwa penyakit diare adalah penyebab
utama kedua kematian pada anak di bawah lima tahun dan bertanggung jawab untuk
membunuh 1,5 juta anak setiap tahun di seluruh dunia.
Penyakit diare inilah yang terlihat mulai
marak di daerah yang sangat terpencil di Papua termasuk di Soba. Sayangnya
pengetahuan masyarakat setempat masih terbatas mengenai hal ini. Puskesmas yang
jarang buka, tenaga kesehatan yang terbatas menjadi faktor utama terbatasnya
informasi di daerah ini mengenai kesehatan.
Sebenarnya mudah saja untuk mengatasi agar mata air tidak
tercemar. Salah satunya adalah dengan menggunakan teknik pipanisasi langsung
dari mata air. Selain itu perlu diberikan penyadaran akan pentingnya tempat
khusus untuk BAB alias Buang Air Besar sehingga tidak ada lagi BAB sembarang
yang mencemari aliran air.
4 tahap pemurnian air oleh Pureit. Sumber: www.pureitwater.com/ID/ |
Kelengkapan perlindungan tambahan Pureit. Sumber: www.pureitwater.com/ID/ |
Nah, untuk mata air yang dialirkan melalui pipa dan keluar
melalui keran bisa dijamin kebersihannya dengan menggunakan teknologi Pureit. Pureit
bekerja dengan teknologi canggih 4-tahap pemurnian air dan “Teknologi Germkill”
untuk menghasilkan air yang benar-benar aman terlindungi sepenuhnya dari
bakteri dan virus. Pureit juga sangat praktis digunakan. Tinggal menuang air
tanah ke dalam wadah atas melalui saringan serat mikro maka air akan tersaring
melalui 4 tahap pemurnian air. Kapasitas wadahnya juga cukup besar (wadah atas
9 Liter dan wadah transparan 9 Liter) membuatnya cukup untuk kebutuhan satu
keluarga. Yang paling penting lagi, Pureit tidak memerlukan listrik atau gas
sehingga benar-benar cocok untuk digunakan di daerah seperti ini. Tidak hanya
itu, Pureit juga dilengkapi dengan mekanisme perlindungan tambahan. Ada indikator
sederhana untuk mengetahui kapan alat “germkill” harus diganti. Jika alat ini
tidak diganti pada waktunya, maka air akan berhenti mengalir. Ini akan menjamin
seluruh anggota keluarga meminum air yang aman. Saya yakin dengan Pureit pasti
konsumsi air bersih yang cukup ekonomis akan meningkat sehingga mau tidak mau
akan menurunkan angka kejadian diare di daerah ini.
Tiba-tiba ada suara gaduh dari sebelah rumah tempatku
menginap. Seorang warga bernama Obed tiba-tiba jatuh pingsan saat memasuki
rumah sepulang dari berkebun. Selidik punya selidik, dari temannya kemudian
diketahui bahwa dia telah mematahkan beberapa dahan pohon di pinggir mata air.
Temannya sudah melarang tapi dia tetap nekad. Obed terlihat kejang-kejang
dengan mulut sedikit mengeluarkan busa. Orang-orang tampak menggumamkan
sesuatu. “Pahabol…Pahabol”, hanya itu yang bisa saya tangkap dari bisikan dan
gumam mereka. Rupanya betul ada swanggi penunggu mata air. Ihhh… serem ah…!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar